ABSTRAK
Nikah merupakan suatu akad yang dilakukan untuk menghalalkan wath’i/jima‟. Akad tersebut bisa dilakukan kapan saja , namun pada saat ihram akad nikah bagi pelaku ihram ada perbedaan pendapat. Jumhur ulama‟ (Maliki, Syafi‟I , Hanbali) tidak memperbolehkan akad tersebut, dengan berdasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh Utsman ra. Berbeda dengan meraka, Hanafi memperbolehkan akad tersebut. Dalam skripsi ini, dipilih tokoh Syamsuddin as- Sarakhsi yang merupakan ashabul Hanafiyah yang menonjol. Pendapat beliau yang membolehkan akad nikah bagi orang yang sedang ihram berdasarkan pada hadits Ibnu Abbas ra.
Dari latar belakang tersebut dirumuskan masalah dalam skripsi ini sebagai berikut: Bagaimana pendapat Imam Syamsuddin as-Sarakhsi tentang pernikahan pada waktu ihram? Bagaimana istinbath hukum Imam Syamsuddin as- Sarakhsi tentang pernikahan pada waktu ihram?.
Metode penelitian yang digunakan sebagai penunjang adalah metode penelitian kepustakaan yang bersifat kualitatif. Sumber data primer dalam penelitian ini adalah kitab al-Mabsuth karya Syamsuddin as-Sarakhsi, sedangkan sumber data sekunder adalah teori-teori yang berhubungan dengan pernikahan pada waktu ihram. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Sedangkan analisa data menggunakan teknik analisa deskriptif kualitatif.
Temuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: pendapat as- Sarakhsi dalam membolehkan pernikahan pada saat ihram dengan menggunakan hadits dari Ibnu Abbas tidak kuat, karena berlawanan dengan riwayat dari Maimunah sebagai pelaku pernikahan itu sendiri yaitu bahwasanya Nabi saw menikahi Maimunah dalam keadaan halal. Kemudian daalam Istinbathnya Syamsuddin as-Sarakhsi juga menggunakan metode Qiyas, yaitu akad nikah disamakan dengan jual beli, sisi kesamaan (illat) nya adalah sama-sama akad. Hukum asalnya adalah akad jual beli bagi orang yang sedang ihram. Hukum far’inya adalah akad nikah bagi muhrim. Imam as-Sarakhsi lebih menekankan nikah pada akadnya, bukan ditekankan pada proses diperbolehkannya wath’i. Dengan illat sama-sama akad maka dihasilkan bahwa akad nikah boleh bagi orang yang sedang ihram, akan tetapi tidak boleh wath’i. Namun pendapat ini kurang kuat dikarenakan hadits yang memperbolehkan nikah pada waktu ihram hanya dari satu jalur sahabat yaitu Ibnu Abbas sedangkan hadits yang melarang nikah (nikah beliau dengan Maimunah dalam keadaan halal) berasal dari 3 jalur sahabat (Maimunah, Abu Rafi‟, Yazid bin al Asham). Selain itu Ibnu Abbas pada saat itu masih kecil belum sampai pada usia muda. Walaupun qiyas memenuhi rukun- rukunnya akan tetapi tidak bisa digunakan, karena hadits yang dipakai as-Sarakhsi yaitu hadits dari Ibnu Abbas tidak kuat.