ABSTRAK
Ulama madzhab mempunyai pemikiran yang berbeda terhadap ukuran kafa’ah dalam pernikahan. Menarik jika suatu kajian mengenai kafa’ah diteliti secara komparatif antara dua Imam madzhab dengan latar belakang yang berbeda. Karena berdasarkan asumsi penulis bahwa perubahan masa dari Imam madzhab memutuskan suatu hukum sampai dengan masa sekarang tentu akan menimbulkan perubahan eksistensi suatu hukum. Imam al-Syafi’i berpendapat bahwa hirfah menjadi ukuran kafa’ah dalam pernikahan dan beliau menegaskan bahwa seseorang yang berprofesi rendah tidak sederajat dengan seseorang yang prfrofesinya tinggi. Sedangkan menurut Imam Maliki hirfah tidak menjadi ukuran kafa’ah karena kesetaraan seseorang tidak di lihat dari profesinya melainkan dari agamanya (ketaqwaan).
Perbedaan pandangan tersebut salah satunya di sebabkan oleh adanya ta’arudh dalam qiyas, adanya perbedaan dalam memahami suatu teks, kemudian faktor sosio history dan pemahaman ‘illat hukum yang berbeda. Dari latar belakang tersebut penulis merumuskan masalah sebagai berikut, yaitu: 1. analisis implikasi hukum hirfah (profesi) sebagai kriteria kafa’ah dalam pernikahan menurut Imam Syafi'i dan Imam Maliki, 2. analisis istinbath hukum hirfah sebagai kriteria kafa’ah dalam pernikahan Imam Syafi’i dan Imam Maliki.
Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah bahan- bahan pustaka, baik berupa buku, kitab-kitab fiqh, dan sumber lainnya yang relevan dengan topik yang dikaji. Sedangkan jenis penelitiannya berupa penelitian kualitatif, karena teknis penekanannya lebih menggunakan pada kajian teks. Sumber data primernya yaitu: kitab Al-Umm karya Imam Syafi’i dan kitab Muwatha’ karya Imam Maliki. Dalam menganalisa data yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis, content analysis dan metode analisis komparatif.
Hasil analisis dari penelitian ini menggambarkan implikasi hukum hirfah sebagai kriteria kafa’ah dalam pernikahan menurut Imam al-Syafi’i bahwa perihal kafa’ah itu diperhitungkan karena apabila terjadi ketidak se-kufu-an maka salah satu pihak berhak membatalkan perkawinan (fasakh). Sedangkan Imam Maliki tidak memperhitungkan hirfah sebagai kriteria kafa’ah maka jika terjadi ketidak se-kufuan salah satu pihak tidak mempunyai hak khiyar untuk membatalkan pernikahan. Imam Maliki yang notabenya ahli hadits menetapkan hukum kafa’ah dengan menggunakan hadits yang dikuatkan dengan ijma ahlu Madinah. Sedangkan Imam as-Syafi’i semasa hidupnya sering berpindah-pindah sehingga beliau lebih banyak bersentuhan dengan kompleksitas budaya maka dalam pendapatnya tentang kafa’ah lebih dipengaruhi oleh pebandingan qiyas.Yakni menganalogikan pendapatnya dengan suatu kasus tertentu yang terjadi di beberapa tempat dimana beliau pernah tinggal.