ABSTRAK
Masalah perdagangan orang telah menjadi masalah yang sulit dihadapi Indonesia karena merupakan salah satu negara dengan jumlah kasus tindak pidana perdagangan orang tertinggi tetapi penanganannya belum optimal. Penyebabnya yaitu kurangnya perhatian terhadap korban sebab selama ini penanganan perdagangan orang berorientasi kepada pelaku semata. Pada Pasal 48 Undang- Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang telah mengatur hak korban untuk mendapatkan restitusi atau ganti kerugian baik secara materiil dan/atau immateriil yang diderita korban akibat perbuatan pelaku. Dalam penulisan skripsi ini penulis membahas mengenai hak restitusi korban tindak pidana perdagangan orang dengan menganalisa dari hasil putusan Pengadilan Negeri (Studi Putusan Nomor : 1554/Pid. B/2012/PN.Mdn) atas nama terdakwa Andreas Ginting alias Ucok yang merupakan satu-satunya putusan dalam perkara tindak pidana perdagangan orang di Sumatera utara yang menghukum pelaku untuk membayar restitusi kepada korban. Jenis penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan metode penelitian empiris, yang dilakukan dengan cara memberikan gambaran terhadap masalah perdagangan orang, dengan menitikbertakan kepada permasalahan mengenai peran Kejaksaan dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang. Metode pengumpulan data yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan yang berasal dari buku-buku, situs internet maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan judul skripsi ini. Adapun hambatan yang dihadapi jaksa dalam penentuan hak resitusi yakni secara internal dan eskternal. Secara internal meliputi tahap penyidikan, kendala yang dihadapi adalah korban enggan mengikuti proses persidangan yang panjang (minimum 3 bulan). Tahap penuntutan, Jaksa banyak mengalami kesulitan untuk menghadirkan saksi. Selanjutnya pada tahap pelaksanaan putusan pengadilan, Jaksa menghadapi kendala dalam mengeksekusi putusan restitusi untuk saksi dan/atau korban, karena aplikasi penyitaan barang bergerak maupun tidak bergerak milik terpidana belum ada dasar hukum untuk penyitaan. Hambatan secara eksternal adalah peraturan perundang-undangan yang mengatur pemberian restitusi kepada korban kejahatan yang cenderung saling bertentangan dan adanya tumpang-tindihnya pengaturan mengenai restitusi terhadap korban kejahatan, kurangnya pemahaman masyarakat terkait kepentingan korban, kurangnya pemahaman korban tindak pidana perdagangan orang terkait dengan hak-haknya, kurangnya sarana dan prasarana, tidak adanya peraturan pelaksana dan terlalu ringannya kurungan pengganti dan pengetahuan serta kesadaran hukum masyarakat yang masih rendah. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang dan peraturan lainnya seperti Keputusan Presiden, Peraturan Menteri, Peraturan Pemerintah maupun Peraturan Daerah diharapkan dapat memberikan sanksi yang tegas pada pelaku tindak pidana perdagangan orang. Berdasarkan hal tersebut untuk melindungi hak korban, sangat dibutuhkan peran jaksa dalam penentuan hak restitusi tindak pidana perdagangan orang.