PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Krisis moneter yang melanda Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 tampak seakan-akan menjadi pemicu bertambahnya jumlah anak jalanan di Indonesia (Koentjoro, 2001). Data Departemen Sosial (dalam Media Indonesia tanggal 1
April 2006) menyebutan bahwa anak jalanan tahun 2004 berjumlah 94.674 jiwa. Hal tersebut merupakan simbol dari kegagalan pemerintah dalam mengentaskan kemiskinan. Seperti yang terlihat dari hasil wawancara dengan seorang anak jalanan berusia 8 tahun di sekitar terminal angkutan kota, yang memutuskan untuk turun ke jalan karena alasan kemiskinan.
“Kami butuh uang kak...untuk makan, mau bayar uang sekolah. Bapak narik becak, nggak cukup uangnya. Ini aku disuruh mama kesini. Pulang sekolah aku langsung kesini sampai malam jam sembilan, baru aku pulang, naik angkot sendiri. Kadang aku ngamen, kadang aku nyemir sepatu kak. Tapi kalau semir sepatu, jarang ada yang mau. Paling sedikit aku bisa dapat lima ribu, paling banyak lima belas ribu. Bisa satu hari aku nggak ada dapat uang. Kalau aku pulang nggak dapat uang, mamaku marah-marah...terus aku dipukulnya. Mama jahat kak...mama tiri, mamaku udah meninggal kena tsunami...”
(Komunikasi personal, 27 September 2008) Menurut Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Giwo Rubianto Wiyogo, penyelenggara perlindungan anak di Indonesia, termasuk pemerintah dan aparat penegak hukum belum memiliki respon yang tinggi terhadap perlindungan anak. Hal tersebut tidak sesuai dengan pasal 34 Republik Indonesia 1945 yang menjelaskan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Jumlah anak jalanan di Indonesia makin hari makin bertambah jumlahnya. Data terakhir yang dilansir Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan angka 154.861 jiwa menurut Komisi Nasional Perlindungan Anak (KomNas PA, 2007) dan hampir separuhnya berada di Jakarta, sedangkan sisanya tersebar ke kota-kota besar lainnya seperti Medan, Palembang, Batam, Serang, Bandung, Jogja, Surabaya, Malang dan Makasar (Suwardi, 2007).
Koentjoro (2001) menambahkan bahwa hingga kini belum ada kesepakatan batasan tunggal mengenai anak. Menurut berbagai tinjauan pustaka dan pendapat ahli psikologi perkembangan, yang disebut anak adalah mereka yang berusia di bawah 12/13 tahun. Menurut pandangan lain bahwa batas usia anak berada dalam rentang 14 tahun (Undang-Undang Republik Indonesia No. 12 tahun 1984) hingga 21 tahun (Undang-Undang Republik Indonesia No. 1 tahun 1974 dan No. 4 tahun 1979). UNICEF dan ILO (dalam Koentjoro, 2001) juga menyepakati bahwa yang termasuk klasifikasi anak adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Hasil pendataan oleh Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak (PKPA) tahun 2003 mengatakan bahwa jumlah anak jalanan di daerah Pinang Baris, Medan berkisar antara 200-300 anak dengan usia 6-18 tahun. Sebagian diantaranya (±70%) masih berstatus sekolah tingkat SD, SLTP dan SLTA. Berdasarkan hasil penelitian, ditemukan bahwa terminal bus Pinang Baris merupakan salah satu lokasi strategis sebagai tempat aktivitas anak jalanan. Jenis pekerjaan yang biasanya dilakukan oleh anak-anak jalanan tersebut adalah pengamen, penyemir sepatu, tukang doorsmeer, penjual koran terbitan pagi-sore, pedagang asongan, penyapu bus umum / angkutan kota dan pekerjaan lain yang bersifat eksidentil seperti calo bus.
Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara yang dilakukan peneliti, pekerjaan-pekerjaan tersebut juga dilakukan oleh anak-anak jalanan yang berada di kota Medan. Berbagai jenis pekerjaan tersebut dilakukan oleh anak-anak jalanan demi mencari nafkah untuk kehidupan keluarganya.
Pada umumnya anak-anak jalanan tidak hanya melakukan satu jenis pekerjaan saja, melainkan dua atau lebih agar kemungkinan untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi. Anak-anak jalanan di kota Medan semakin hari semakin bertambah dan tahun ini berjumlah sekitar 7000 anak. Hal tersebut dikatakan oleh Jesmon, salah seorang pekerja sosial di salah satu LSM di Medan.
“Kalau untuk Medan secara keseluruhan banyak dek.. Jumlah anak jalanan sekitar 7000an. Itu termasuk mereka yang ngabisin banyak waktunya berada di jalanan tanpa melakukan pekerjaan apapun. Tapi tidak semua dari anak jalanan itu bergabung di LSM ataupun rumah singgah, yang bergabung dan dibina di rumah-rumah singgah hanya sekitar 3000 anak jalanan.”
(Komunikasi personal, 9 Desember 2008) Laporan dari Departemen Sosial pada tahun 2004 sebanyak 3.308.642 anak termasuk ke dalam kategori anak terlantar dan anak jalanan termasuk ke dalam kategori tersebut. Menurut Suwardi (2007), seseorang bisa dikatakan anak jalanan bila berumur dibawah 18 tahun, yang menggunakan jalan sebagai tempat mencari nafkah dan berada di jalan lebih dari enam jam sehari dan enam hari seminggu. Anak jalanan juga dapat didefinisikan sebagai anak yang berusia 7-15 tahun yang bekerja di jalanan dan tempat umum lainnya yang dapat mengganggu ketentraman dan keselamatan orang lain serta membahayakan keselamatan dirinya. Istilah anak jalanan digunakan oleh orang-orang yang melihat atau mengidentifikasi kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya ada di jalanan (Soedijar dalam Irwanto, 1995). Menurut pandangan ini, anak seharusnya tinggal di dalam keluarga atau di dalam rumah tinggal (Karyanto dalam Suranto, 1999).
Departemen Sosial menjelaskan bahwa telah banyak terdapat rumah singgah dan Lembaga Swadaya Masyarakat di kota Medan dan salah satunya adalah Yayasan KKSP yang mengurus anak-anak kurang mampu termasuk di dalamnya anak jalanan, tapi hal tersebut tidak dapat mengurangi jumlah anak jalanan. Anak- anak yang memang telah menjadi anak jalanan dan mencari nafkah di jalanan sudah sulit dibina untuk tidak menjadi anak jalanan lagi (Fahmi Yayasan KKSP,
2009), namun mereka diberikan pembekalan agar dapat bertahan hidup di jalanan misalnya pembekalan bermain alat musik dan menyanyi.
Fenomena tersebut sesuai dengan teori reinforcement yang didukung oleh pernyataan Suwardi (2007) mengatakan bahwa anak-anak yang dibimbing di rumah singgah atau LSM, tak jarang yang tetap melakukan aktifitasnya di jalanan. Hal tersebut seringkali terjadi walapun pihak rumah singgah telah memberikan sekolah gratis, makanan gratis dan atap untuk berlindung bagi mereka. Penyebab anak-anak tersebut kembali ke jalanan adalah tidak lain karena uang. Di jalanan mereka dengan gampang bisa memperoleh uang, yang biasanya minimum mencapai Rp 20.000 per hari. Berarti dalam sebulan mereka bisa memperoleh paling tidak Rp 600.000. Jumlah ini tentu saja relatif cukup besar bagi seorang anak di bawah umur 18 tahun dan hidup di jalanan. Hal tersebut sesuai dengan hasil wawancara yang dilakukan terhadap seorang anak jalanan berumur 10 tahun yang masih memiliki keluarga inti dan tinggal bersama keluarganya :
“Mamaku tahu kok aku kesini, tapi aku nggak dipaksa, aku sendiri yang mau. Aku ngamen kalo udah pulang sekolah kak. Pagi kan aku sekolah, trus pulang dulu makan siang di rumah, baru aku kesini ngamen pake krincing-krincing ini. Ini aku sendiri yang buat. Aku disini ngamen sendiri aja, aku nggak ada nyetor-nyetor ke bos. Kami disini nggak ada bos, nggak ada juga yang minta- minta uang kami. Baik-baik disini semua kak. Satu hari paling dikit aku bisa dapat 20.000... Tapi aku pernah dapat 110.000 satu hari. Kawanku ada juga yang pernah dapat 300.000 satu hari, dia masih kecil segini kak, pandai dia bikin mukanya lemas-lemas, pucat kayak gini hahaha... Makanya bisa dapat banyak kali dia satu hari tu. Aku pulang ke rumah jam-jam 6 atau 7 kak.”
(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008) Yayasan Duta Awam Semarang (Kalida, 2005) mengkategorikan penyebab anak turun ke jalanan ke dalam tiga faktor yaitu ekonomi, masalah keluarga dan pengaruh teman sebaya. Dari ketiga faktor tersebut, faktor ekonomi menjadi penyebab utama yang menjadikan seorang anak turun ke jalanan yaitu karena kemiskinan, sehingga anak turun ke jalanan bukan karena inisiatif sendiri karena banyak kasus ditemui bahwa anak jalanan turun ke jalanan justru karena perintah
orangtuanya. “Sebenarnya awakpun tak maunya kerja-kerja macam ni di jalan, nyapu-nyapu angkot, kadang bantu-bantu doorsmeer... tapi cemana lah bos awak ni nyuruh, marah pulak dia nanti kalau nggak diturutin... Tapi benar pulak, bos cowok pun tak cukup uangnya buat makan kami, bos cewek juga bukannya banyak juga penghasilannya dari jualan rokoknya itu, mau makan apa nanti kami kalau nggak kerja kayak gini... adek-adek awak tu yang masih kecil juga...”
(Komunikasi personal, 9 Desember 2008) Koentjoro (2001) juga menyebutkan alasan-alasan mengapa seseorang menjadi anak jalanan dan salah satunya adalah karena sebagai jalan keluar dari problematika keluarga dimana anak akan disuruh ikut bekerja untuk mencari nafkah oleh orang tuanya. Seorang anak juga dapat menjadi anak jalanan karena akibat dari diusir keluarganya sehingga anak terpaksa harus dapat mempertahankan hidupnya dengan bekerja di jalanan. Koentjoro (2001) menambahkan bahwa apapun latar belakangnya, setiap anak jalanan mempunyai alasan yang berbeda satu dengan yang lain. Sukiadi (dalam Hariadi dan Suyanto,1999) mengatakan bahwa keputusan untuk menjadi anak jalanan tergantung pada diri anak itu sendiri dan pengaruh teman yang membawanya.
Karyanto (dalam Suranto, 1999) mengatakan bahwa masyarakat mengenali anak jalanan sebagai kelompok anak-anak yang sebagian besar waktunya berada di jalanan. Berdasarkan kegiatan yang dilakukan, maka anak-anak jalanan dapat digolongkan sebagai pekerja anak yang bekerja dalam sektor jasa kemasyarakatan terutama yang bercirikan informal. Mereka disebut sebagai anak jalanan karena umumnya mereka menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari nafkah di jalanan ataupun di tempat-tempat umum lainnya (Ariyanto, 1999). Hal tersebut didukung oleh pernyataan Departemen Sosial No.26 tahun 1997 (dalam Waluyo, 2000) yang mengatakan bahwa anak jalanan merupakan anak yang menghabiskan sebagian waktunya untuk mencari nafkah.
Berdasarkan rentang usia anak-anak jalanan yaitu 7-15 tahun, mereka berada dalam tahapan masa kanak-kanak akhir (6-12 tahun) dan masa remaja (13-18 tahun). Pada rentang usia tersebut, tugas perkembangan anak seharusnya adalah menghabiskan banyak waktu di sekolah untuk mempersiapkan karir ekonomi mereka nantinya, sedangkan tugas untuk mencari uang atau nafkah seharusnya dilakukan mereka pada saat memasuki masa dewasa awal (Hurlock, 1999). Namun pada kenyataannya, anak-anak jalanan yang berada dalam rentang usia tersebut justru lebih banyak menghabiskan banyak waktunya di jalanan untuk mencari uang atau nafkah, seperti yang tergambar dalam wawancara di bawah ini
:
“Aku disuruh mamaku kak...cari uang katanya. Untuk uang sekolah. Makanya aku ngamen terus kadang-kadang juga nyemir sepatu. Kalau aku nggak dapat uang, aku dimarahi mamak...kadang dipukul juga sama mamak.”
(Komunikasi personal, 16 Oktober 2008) Pernyataan di atas menunjukkan bahwa anak-anak jalanan tersebut telah melakukan kegiatan-kegiatan ataupun pekerjaan-pekerjaan yang seharusnya belum dilakukan mereka, seperti mengamen, menyapu angkutan umum ataupun bekerja di doorsmeer, dimana mereka bekerja untuk mencari nafkah ataupun sekedar uang tambahan guna menghidupi keluarganya, namun mereka juga masih tetap melakukan kewajiban mereka sebagai seorang pelajar yang menjalankan pendidikan di sekolah formal seperti halnya anak-anak lain yang seumuran
mereka.
“Pagi aku sekolah kak, terus pulang sekolah baru aku ngamen kesini. Nggak ada dimarahin mamak karena dia juganya yang nyuruh aku kek gini, untuk bantu-bantu bayar uang sekolahku katanya...”
(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008) Anak-anak yang seharusnya berada dalam lingkungan belajar, bermain dan berkembang bersama dengan teman-teman sebayanya, justru mereka harus menghadapi kehidupan yang keras dan penuh berbagai bentuk eksploitasi (Kushartati, 2004). Berdasarkan wawancara di atas, dapat dilihat bahwa anak jalanan tersebut harus memiliki suatu kemampuan untuk dapat bertahan hidup dan menghadapi kehidupan yang dijalaninya tersebut yaitu tanggung jawabnya terhadap pendidikan formal yang dijalananinya dimana anak harus tetap berkonsentrasi terhadap pelajarannya di sekolah serta tanggung jawabnya terhadap orang tuanya dalam hal mencari uang yang ditempuhnya dengan cara menjadi seorang anak jalanan dimana anak akan melakukan kegiatan-kegiatan yang sesungguhnya dapat membahayakan dirinya sendiri seperti mengamen di jalanan, membersihkan angkutan umum di perempatan jalan, serta kegiatan- kegiatan lainnya yang dapat memberikan penghasilan bagi mereka.
Hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, diperoleh bahwa ketika seorang anak turun ke jalanan untuk menghadapi kehidupannya, maka ia juga akan berhadapan dengan lingkungan sosial dan untuk dapat bertahan dengan keadaan tersebut maka anak harus memiliki kemampuan untuk menyesuaikan diri agar dapat mempertahankan hidupnya dari berbagai macam rintangan hidup misalnya kemampuan untuk bernyanyi, berjualan, ataupun kemampuan untuk membersihkan mobil.
“aku biasanya ngamen kak, sebenarnya suarakupun tak bagus-bagus kalinya, tapi biarlah yang pentingkan dapat uang. Krincing-krincingku ini kak, aku sendiri yang buat, biar paling nggak adalah musik-musiknya.”
(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008) Hal tersebut di atas sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Schultz (1994) mengenai kemampuan diri seseorang atau yang lebih dikenal dengan istilah self- efficacy, yaitu kemampuan individu dalam menghadapi kehidupan. Selain itu juga, Baron & Byrne (dalam Akbar & Hawadi, 2004) menambahkan bahwa self- efficacy merupakan kemampuan individu dalam mengatasi rintangan untuk mencapai tujuan dan mendapatkan sesuatu.
Menurut Bandura (dalam Schultz, 1994) self-efficacy seseorang terbentuk secara bertahap dimulai dari masa bayi dan akan berkembang terus sampai lanjut usia. Bandura juga menjelaskan mengenai sumber-sumber self-efficacy antara lain berasal dari pengalaman keberhasilan yang telah dicapai diri sendiri, pengalaman keberhasilan orang lain, persuasi verbal dan keadaan fisiologis. Tauran (2000) mengatakan bahwa anak jalanan dapat bertahan hidup di jalan karena kemampuan yang dimiliki mereka yang diperoleh dari pengalaman orang lain juga pengalaman keberhasilan yang telah dicapainya. Anak jalanan akan mengikuti apa yang dilakukan orang lain dan akan mengulangi kegiatan yang dianggapnya menghasilkan sesuatu yang menyenangkan. “Sebenarnya aku nggak ada kak ikut-ikut kayak gini, tapi kutengok abangku banyak dia dapat uang dari nyapu-nyapu angkot sama ngamen kek gitu... jadinya akupun ikut-ikutan, lumayan juga lah kan uangnya buat bantu-bantu mamak untuk tambah-tambah uang makan kami, kalau pas dapat lebih, bisa juga kutabung...”
(Komunikasi personal, 9 Desember 2008) Schwarzer (dalam Zimbardo dan Gerrig, 1999) menjelaskan bahwa self- efficacy mempengaruhi seberapa besar usaha yang digunakan untuk mencapai suatu tujuan dan berapa lama seseorang dapat bertahan dalam mengatasi situasi kehidupan yang sulit. Berdasarkan hasil pengamatan yang dilakukan peneliti, anak jalanan akan berusaha keras untuk mencapai tujuannya. “biasanya aku memang ngamen kak, tapi kalau aku sudah capek nyanyi, nyemir sepatu lah aku, nengok-nengok orangnya juga lah. Biar bisa dapat uang lebih banyak lagi, karena kalau nggak bawa uang kan nanti dimarahin mamak.
(Komunikasi personal, 14 Oktober 2008) Individu yang dapat bertahan dalam situasi kehidupan tersebut di atas adalah individu yang mempunyai self-efficacy tinggi dimana individu tersebut tidak akan putus asa dan terus berusaha serta mencoba lebih keras dalam menghadapi tantangan hidup tersebut, sebaliknya individu yang mempunyai self-efficacy yang rendah akan mengurangi usahanya untuk bekerja dalam situasi yang sulit serta cenderung akan gagal dalam menyesuaikan diri dalam situasi sosial (Bandura
dalam Warsito, 2004).
Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa self-efficacy seorang anak jalanan itu mempengaruhi bagaimana cara mereka dalam mempertahankan hidupnya di jalanan dan juga bagaimana cara mereka menyelesaikan pendidikan formal yang mereka jalani sehingga menimbulkan pertanyaan bagi peneliti yaitu bagaimanakah gambaran self-efficacy yang dimiliki oleh anak jalanan dimana mereka memiliki tanggung jawab sebagai seorang pelajar serta tanggung jawab sebagai pencari nafkah dalam keluarganya.
B. PERUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan sebelumnya, maka perumusan masalah dalam penelitian ini adalah “bagaimana gambaran self- efficacy pada anak jalanan”.
Perumusan masalah di atas akan diperinci lagi dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimanakah persepsi anak jalanan terhadap tugas untuk mencari nafkah yang mereka hadapi dan apa dampak bagi anak jalanan tersebut?
2. Seberapa mampukah anak jalanan dapat bertahan ketika menghadapi tugas untuk mencari nafkah?
3. Bagaimanakah anak jalanan dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar di sekolah?
4. Bagaimanakah anak jalanan dapat menjalankan tanggung jawabnya sebagai seorang pelajar dan juga sebagai pencari nafkah dalam keluarga?
5. Faktor-faktor apa saja yang mendukung keberhasilan anak jalanan dalam melakukan tugas-tugasnya sebagai pelajar dan pencari nafkah?
C. TUJUAN PENELITIAN
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui jawaban dari perumusan masalah mengenai self-efficacy pada anak jalanan.
D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk perkembangan ilmu psikologi, khususnya di bidang Psikologi Perkembangan, yaitu membukakan wawasan mengenai self-efficacy pada anak jalanan.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan untuk menambah pengetahuan dan pemahaman mengenai anak jalanan bagi :
a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) serta pihak-pihak yang ikut berpartisipasi terhadap masalah anak jalanan.
b. Masyarakat umum sebagai referensi bagi para pembaca yang ingin melakukan penelitian mengenai anak jalanan terutama yang berhubungan dengan self- efficacy pada anak jalanan.
E. SISTEMATIKA PENULISAN
Adapun sistematika penulisan dalam laporan ini adalah : BAB I : Pendahuluan
Bab ini menjelaskan mengenai latar belakang masalah penelitian, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan.
BAB II : Landasan Teori
Bab ini memuat tinjauan teoritis yang menjadi acuan dalam pembahasan masalah. Teori-teori yang dimuat adalah teori yang berhubungan dengan anak jalanan dan self-efficacy.
BAB III : Metode Penelitian
Bab ini menjelaskan mengenai pendekatan kualitatif, metode pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data, partisipan dan lokasi penelitian dan prosedur penelitian.
BAB IV : Analisa Data dan Pembahasan
Bab ini berisikan pengolahan dan pengorganisasian data penelitian, membahas data-data penelitian dengan teori yang relevan. Bab ini juga memuat diskusi terhadap data-data yang tidak dapat dijelaskan oleh teori atau penelitian sebelumnya karena merupakan hal yang baru.
BAB V : Kesimpulan dan Saran
Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian dan diskusi.