BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Keselamatan Kerja adalah keselamatan yang bertalian dengan mesin, pesawat, alat kerja, bahan dan proses pengolahannya, landasan tempat kerja dan lingkungannya serta cara melakukan pekerjaan (Suma’mur, 1987). Kesehatan kerja diartikan sebagai ilmu kesehatan dan penerapannya yang bertujuan mewujudkan tenaga kerja sehat, produktif dalam bekerja, berada dalam keseimbangan yang mantap antara kapasitas kerja, beban kerja dan keadaan lingkungan kerja, serta terlindung dari penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja (Suma’mur 2009). Menurut Keputusan Menteri Tenaga Kerja R.I No. Kep. 386/MEN/2014 tentang petunjuk pelaksaan bulan keselamatan dan kesehatan kerja nasional tahun 2015-2019, Keselamatan dan Kesehatan Kerja merupakan salah satu aspek perlindungan ketenagakerjaan dan merupakan hak dasar dari setiap tenaga kerja yang ruang lingkupnya telah berkembang sampai kepada keselamatan dan kesehatan masyarakat secara nasional.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) terdiri dari berbagai macam aspek, salah satunya adalah aspek psikologis. Aspek ini bersumber pada manusia. Manusia memiliki pikiran dan pertimbangan. Salah satu pikiran yang mengganggu adalah pikiran yang berakar kepada kekhawatiran. Khawatir kalau pekerjaan pada suatu waktu tidak akan ada lagi oleh karena perusahaan bangkrut, khawatir kalau dipecat dari pekerjaan, khawatir berbuat salah, dan bentuk kekhawatiran lainnya. Kekhawatiran ini sering meningkat menjadi tegangan pikiran yang mengakibatkan pekerja yang bersangkutan menjadi sakit (Suma’mur, 2009).
Menurut Nuraini (2013) yang mengutip pendapat Maramis, kecemasan adalah hal normal sebagai manusia, tetapi bagi beberapa individu kecemasan dapat keluar kendali sampai mengacaukan gaya hidup. Ini biasanya terjadi saat si penderita menjadi sangat ketakutan terhadap gejala-gejala fisik yang dirasakan dan mulai menghindari tempat-tempat atau situasi-situasi yang akan memunculkan gejala-gejala itu. Rasa khawatir, gelisah, takut, waswas, tidak tenteram, panik dan sebagainya merupakan gejala umum akibat cemas. Kecemasan dengan berbagai macam gejalanya dapat mengganggu konsentrasi individu dalam bekerja dan dapat membuat individu kesulitan untuk berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Menurut Daradjat (1983), kecemasan adalah manifestasi dari berbagai proses emosi yang bercampur baur, yang terjadi ketika orang sedang mengalami tekanan perasaan (frustasi) dan pertentangan batin (konflik). Kecemasan itu mempunyai segi yang disadari seperti rasa takut, terkejut, tidak berdaya, rasa berdosa/bersalah, terancam, dan sebagainya. Kartono (1997), kecemasan ialah kondisi psikis dalam ketakutan dan kecemasan yang kronis, sungguhpun tidak ada rangsangan spesifik.
Berdasarkan beberapa pengertian tentang kecemasan yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa kecemasan adalah suatu keadaan atau perasaan yang tidak menyenangkan yang bersifat subjektif yaitu datang dari dalam diri individu tersebut, sumbernya bersifat tidak jelas sehingga individu merasa takut, pikiran dan perasaan tidak nyaman, bingung untuk menghadapi peristiwa yang akan datang.
Individu yang mengalami gangguan kecemasan dapat memperlihatkan perilaku yang tidak lazim seperti panik tanpa alasan, takut yang tidak beralasan terhadap objek atau kondisi kehidupan, melakukan tindakan berulang-ulang tanpa dapat dikendalikan, mengalami kembali peristiwa yang traumatik, atau rasa khawatir yang tidak dapat dijelaskan atau berlebihan (Videbeck, 2008). Kecemasan ini sangatlah akrab dengan kehidupan sehari-hari yang menggambarkan keadaan takut, khawatir, gelisah, tidak tentram disertai dengan berbagai keluhan fisik. Jadi, cemas berkaitan dengan perasaan yang tidak pasti dan tidak berdaya (Kusumawati, 2010).
Kecemasan juga tidak terlepas dari kehidupan Pegawai Negeri Sipil (PNS). Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan salah satu abdi negara yang harus diperhatikan aspek Keselamatan dan Kesehatan Kerjanya. Menurut Undang- undang RI Nomor 43 Tahun 1999 tentang perubahan atas undang‐undang nomor 8 tahun 1974 tentang pokok‐pokok kepegawaian, Pegawai Negeri Sipil (PNS) merupakan bagian dari Pegawai Negeri yang ada di Indonesia. Pegawai Negeri Sipil adalah salah satu pelaksana pemerintahan untuk menyelenggarakan tugas pemerintah dan pembangunan dalam rangka usaha mencapai tujuan nasional. Menurut Adelina yang dikutip oleh Ambarita (2015), untuk mewujudkan Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang sempurna, maka Pegawai Negeri Sipil (PNS) perlu dibina dengan sebaik-baiknya dan diadakan pengembangan. Salah satu bentuk dari pengembangan terhadap Pegawai Negeri Sipil adalah mutasi sebagai penjelmaan/ perwujudan dari dinamika organisasi yang dijadikan sebagai salah satu cara untuk mencapai tujuan organisasi. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), mutasi merupakan perpindahan pegawai dari satu jabatan ke jabatan yang lain baik sejajar maupun ke atas atau naik pangkat.
Menurut Adelina yang dikutip oleh Ambarita (2015), mutasi tidak terlepas dari alasan untuk mengurangi rasa bosan pegawai kepada pekerjaan serta meningkatkan motivasi dan semangat kerja pegawai, selain itu untuk memenuhi keinginan pegawai sesuai dengan minat dan bidang tugasnya masing-masing dimana dalam kegiatan pelaksanaan mutasi kerja sering disalah tafsirkan orang yaitu sebagai hukuman jabatan atau didasarkan atas hubungan baik antara atasan dengan bawahan. Dalam pelaksanaan mutasi harus benar-benar berdasarkan penilaian yang objektif dan didasarkan atas indeks prestasi yang dicapai oleh karyawan mengingat sistem pemberian mutasi dimaksudkan untuk memberikan peluang bagi para pegawai negeri sipil untuk mengembangkan potensi yang dimilikinya.
Pada kenyataannya, banyak Pegawai Negeri Sipil yang tidak siap menghadapi mutasi sehingga menimbulkan kecemasan pada Pegawai Negeri Sipil. Hal tersebut dilihat dari hasil wawancara peneliti dengan lima orang Pegawai Negeri Sipil pada salah satu instansi pemerintah di Kabupaten Tapanuli Utara. Kelima sampel tersebut menyatakan mengalami gejala-gejala kecemasan seperti firasat buruk, gelisah, lesu dan tidur tidak nyenyak.
Salah satu kondisi internal yang mempengaruhi kecemasan menghadapi mutasi adalah self-efficacy PNS. Self-efficacy adalah penilaian kognitif yang kompleks tentang kemampuan individu di masa mendatang untuk mengorganisasikan dan memilih tindakan yang di butuhkan untuk mencapai tujuan tertentu. Self-efficacy menekankan pada komponen kepercayaan diri yang di miliki oleh seorang dalam menghadapi situasi yang akan datang yang mengandung kekaburan, tidak dapat di ramalkan, atau sering kali penuh tekanan (Fadlilah, 2010).
Self-efficacy yang kuat dalam diri individu mendasari pola pikir, perasaan dan dorongan dalam dirinya untuk merefleksikan segenap kemampuan yang ia miliki. Self-efficacy mengarahkan individu untuk memahami kondisi dirinya secara realistis, sehingga ia mampu menyesuaikan antara harapan akan pekerjaan yang di inginkannya dengan kemampuan yang ia miliki. Self-efficacy juga memberikan pijakan yang kuat bagi individu untuk pengevaluasian dirinya agar mampu menghadapi tuntunan pekerjaan dan persaingan yang dinamis (Fadlilah, 2010).
Berdasarkan pendapat Fadlilah (2010), dapat disimpulkan bahwa PNS yang mempunyai self-efficacy yang tinggi, akan mempunyai kesadaran mengenai seberapa besar kemampuannya dalam menghadapi mutasi. Seseorang yang mempunyai self-efficacy rendah akan memenuhi tantangan hidup dengan kecemasan yang jauh lebih besar dari pada orang yang memiliki self-efficacy yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa self-efficacy juga berkaitan dengan kondisi emosional seseorang ketika menghadapi suatu hal atau permasalahan. Orang yang mempunyai self-efficacy tinggi akan membangun suatu kondisi emosional yang baik dan kondusif bagi dirinya untuk menghadapi permasalahan yang sedang dihadapinya. Kondisi emosional yang baik akan membuat orang tersebut lebih siap dalam menangani permasalahan dan mengatasi kecemasan yang dirasakan.
Berdasarkan data Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Tapanuli Utara, terdapat 501 pegawai yang dimutasi dalam periode Januari sampai dengan September 2015 dan 80 orang diantaranya dimutasi turun. Dari data tersebut, peneliti tertarik melakukan penelitian dengan judul hubungan self-efficacy dengan kecemasan menghadapi mutasi pada PNS di Kabupaten Tapanuli Utara.
1.2 Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang di atas dapat dirumuskan permasalahan yang akan diteliti adalah tentang bagaimana hubungan self-efficacy dengan kecemasan menghadapi mutasi pada PNS di kabupaten Tapanuli Utara.
1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan self- efficacy dengan kecemasan menghadapi mutasi pada PNS di kabupaten Tapanuli Utara.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Mengetahui tingkat self-efficacy pada PNS di Kabupaten Tapanuli Utara.
2. Mengetahui tingkat kecemasan menghadapi mutasi pada PNS di Kabupaten Tapanuli Utara.
1.4 Hipotesis Penelitian
Hipotesis penelitian ini adalah ada hubungan antara self-efficacy dengan kecemasan menghadapi mutasi pada PNS di Kabupaten Tapanuli Utara.
1.5 Manfaat Penelitian
1. Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara dapat mengetahui tingkat self- efficacy dan tingkat kecemasan menghadapi mutasi pada PNS di Kabupaten Tapanuli Utara. Hal ini berguna dalam memberikan pembinaan pada PNS dalam mengembangkan self-efficacy dan mengurangi kecemasan menghadapi mutasi.
2. Sebagai referensi bagi para PNS untuk dapat mengetahui dan meningkatkan self-efficacy yang dimiliki PNS sehingga akan lebih siap dalam menghadapi mutasi.
3. Menambah wawasan mengenai hubungan self-efficacy dengan kecemasan menghadapi mutasi pada PNS.
4. Sebagai masukan dan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian sejenis.