BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Salah saktu faktor yang dapat digunakan untuk mensinyalir adanya krisis perbankan adalah tingkat pembiayaan maupun kredit macet, oleh karena itu menganalisis faktor-faktor apa saja yang menentukan tingkat pembiayaan bermasalah merupakan hal penting dalam substansial bagi stabilitas keuangan dan manajemen bank. Menurut Mankiw (2006:51), sektor investasi merupakan sektor penting yang berada dalam aliran sirkulasi uang dalam perekonomian. Sektor investasi ini merupakan penghubung langsung antara lembaga keuangan dan sektor riil, yaitu sektor barang dan jasa. Jika jumlah pembiayaan bermasalah tinggi maka bank akan mempersulit masyarakat yang membutuhkan dana karena bank akan lebih berhati-hati dalam praktik penyaluran pembiayaan perbankan. Pertumbuhan ekonomi tentunya juga akan menurun karena aktivitas pada sektor riil semakin lesu (Diyanti, 2012:1).
Menurut Undang-undang RI Nomor 10 Tahun 1998 tanggal 10 November 1998 tentang Perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam
rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak. (Kasmir, 2017:86).
Di Indonesia, bank syariah pertama didirikan pada tahun 1992. Pada awal pendiriannya, keberadaan bank syariah ini belum mendapat perhatian dalam tatanan industri perbankan nasional. Landasan hukumnya hanya dikategorikan
sebagai “bank dengan sistem bagi hasil”, dan belum ada rincian landasan hukum syariah serta jenis-jenis usaha yang diperbolehkan. Hal ini tercermin dalam UU No. 7 Tahun 1992, dimana pembahasan perbankan dengan sistem bagi hasil belum diuraikan secara jelas. Baru kemudian pada 18 Juni 2008, DPR mengesahkan Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (Muttaqiena, 2013:2).
Bank syariah dalam operasionalnya meniadakan sistem bunga. Sebagai gantinya bank syariah menggunakan beberapa sistem yang didasarkan pada prinsip syariah, antara lain sistem bagi hasil, sistem jual beli, sistem sewa, sistem gadai dan lain-lainnya. Bank syariah dengan sistem dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung resiko usaha dan berbagi hasil usaha antara: pemilik dana (śāḫibul al-māl) yang menyimpan uangnya di lembaga, lembaga selaku pengelola dana (muḍārib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus peminjam dana atau pengelola usaha (Muhammad, 2009:4).
Sistem bagi hasil yang digunakan oleh bank syariah berimplikasi pada pemerataan hasil dan risiko antara lembaga keuangan dengan debitur. Proses penilaian dan kekuatan proposal pengajuan pembiayaan sangat berperan penting dalam kelancaran usaha tersebut, karena jika tidak, alih-alih bisa mendapatkan bagi hasil, bank dapat mengalami kerugian karena pokoknya tidak bisa dikembalikan. Alokasi sistem ini cenderung merefleksikan efisiensi yang lebih
besar pada sisi permintaan dan penawaran (Muntoha, 2010:5).
Bank sangat memperhatikan risiko ini, mengingat sebagian besar bank melakukan pemberian kredit sebagai bisnis utamanya. Saat ini, sejarah menunjukkan bahwa risiko kredit merupakan kontributor utama yang menyebabkan kondisi bank memburuk, karena nilai kerugian yang ditimbulkannya sangat besar sehingga mengurangi modal bank secara cepat. Indikator yang menunjukkan kerugian akibat risiko kredit adalah tercermin dari besarnya Non Performing Financing (NPF). NPF adalah rasio antara pembiayaan yang bermasalah dengan total pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syariah. Menurut Dendawijaya (2005:82), pembiayaan bermasalah adalah pembiayaan-pembiayaan yang kategori kolektabilitasnya masuk dalam kriteria pembiayaan kurang lancar, pembiayaan diragukan, dan pembiayaan macet.
Peningkatan rasio pembiayaan bermasalah atau Non Performing Financing dapat dilihat dari beberapa indikator yang mempengaruhinya. Dalam indicator internal, yang dapat mempengaruhi pembiayaan masalah adalah Capital Adequacy Ratio (CAR), Dana Pihak Ketiga (DPK), Financing Deposit Ratio (FDR) dan lainnya. Dan dalam faktor eksternal diantaranya Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), nilai tukar (kurs) dan inflasi.
Peningkatan NPF dipengaruhi dari salah satu instrumen moneter syariah yaitu Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Menurut Arifin (2009:198), Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah sertifikat yang diterbitkan Bank Indonesia yang dibuat dalam rangka pengendalian moneter berdasarkan prinsip syariah dan merupakan salah satu upaya untuk mengatasi likuiditas pada bank syariah dengan menggunakan sistem bonus. Pada saat bonus SBIS menurun, bank syariah akan menggunakan dananya untuk memberikan pembiayaan produktif dibandingkan untuk menyimpan dalam SBIS. Dengan meningkatnya alokasi untuk pembiayaan produktif maka akan meningkatkan risiko pembiayaan bermasalah yang dihadapi oleh bank syariah itu sendiri (Hermawan, 2012:40). Pada penelitian yang dilakukan oleh Rahmat Dahlan (2014) menyimpulkan bahwa