BAB 1
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia sejak tahun 1996 tidak
saja melumpuhkan dunia usaha, tetapi juga menggoyahkan sendi-sendi kesejahteraan
masyarakat luas. Dunia kerja menjadi kian sempit, sementara masyarakat yang
membutuhkan kerja terus meningkat. Adanya penganguran dalam anggota keluarga
berarti masalah bagi anggota keluarga yang lain. Sebab, mereka terpaksa menanggung
beban hidup anggota keluarga yang menganggur. Secara luas, ini juga berarti
pengangguran yang disebabkan ketiadaan lapangan kerja akhirnya menjadi beban
tanggungan masyarakat juga. Pengangguran ini bukanlah hasil sebuah pilihan untuk tidak
bekerja, tetapi akibat dari semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan, terutama dikota-kota
besar.
Masyarakat yang tinggal di perkotaan sering mengharapkan mendapat pekerjaan
formal di kantor-kantor, baik pemerintah maupun swasta. Namun, justru sektor seperti
itulah yang pada masa –masa ini paling merasakan dampak krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Konsekwensinya adalah efisiensi tenaga kerja dengan sedikit menyerap
tenaga kerja baru.
2
Pada tahun 1996 tingkat pengangguran masih 4,9 persen, dua tahun setelah krisis
naik menjadi 6,3 persen, lalu naik lagi menjadi 8,1 persen pada tahun 2001. Setahun
kemudian angka pengangguran merangkak naik menjadi 9,1 persen yang berarti jumlah
penganggur telah lebih dari 10 juta orang atau 9,9 persen dari angkatan kerja. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga memperkirakan pada tahun 2004
jumlah angkatan kerja akan mencapai 102,88 juta orang, termasuk angkatan kerja baru
2,10 juta orang (Sukernas-BPS 2002).
Penciptaan lapangan kerja yang tak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan
kerja baru itu menyebabkan angka pengangguran terbuka tahun 2004 meningkat menjadi
10,88 juta orang (10,32 persen dari angkatan kerja), dari tahun sebelumnya 10,13 juta
orang (9,85 persen dari angkatan kerja). Terjadinya over-supply tenaga yang tidak
diimbangi oleh demand yang memenuhi standar. Sementara tuntutan kualitas sumber
daya manusia makin lama makin tinggi dan menuntut kekhususan yang lebih sulit lagi
untuk dipenuhi. Dengan melihat kondisi tersebut maka sektot informal merupakan
alternatif dapat membantu menyerap orang –orang yang menganggur, tetapi kreatif dan
menjadi peredam di tengah pasar global.
Lapangan kerja yang terbatas membuat orang mencari jalan untuk bertahan hidup
agar dapat hidup layak. Oleh karena itu untuk menumbuhkan perilaku wirausaha pada
masyarakat luas khususnya para pencari kerja akan sangat penting dan strategis bagi
pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang bermutu, memiliki kejelian dalam
PENDAHULUAN
I.I. Latar Belakang
Krisis multidimensional yang melanda bangsa Indonesia sejak tahun 1996 tidak
saja melumpuhkan dunia usaha, tetapi juga menggoyahkan sendi-sendi kesejahteraan
masyarakat luas. Dunia kerja menjadi kian sempit, sementara masyarakat yang
membutuhkan kerja terus meningkat. Adanya penganguran dalam anggota keluarga
berarti masalah bagi anggota keluarga yang lain. Sebab, mereka terpaksa menanggung
beban hidup anggota keluarga yang menganggur. Secara luas, ini juga berarti
pengangguran yang disebabkan ketiadaan lapangan kerja akhirnya menjadi beban
tanggungan masyarakat juga. Pengangguran ini bukanlah hasil sebuah pilihan untuk tidak
bekerja, tetapi akibat dari semakin sulitnya mendapatkan pekerjaan, terutama dikota-kota
besar.
Masyarakat yang tinggal di perkotaan sering mengharapkan mendapat pekerjaan
formal di kantor-kantor, baik pemerintah maupun swasta. Namun, justru sektor seperti
itulah yang pada masa –masa ini paling merasakan dampak krisis ekonomi yang
berkepanjangan. Konsekwensinya adalah efisiensi tenaga kerja dengan sedikit menyerap
tenaga kerja baru.
2
Pada tahun 1996 tingkat pengangguran masih 4,9 persen, dua tahun setelah krisis
naik menjadi 6,3 persen, lalu naik lagi menjadi 8,1 persen pada tahun 2001. Setahun
kemudian angka pengangguran merangkak naik menjadi 9,1 persen yang berarti jumlah
penganggur telah lebih dari 10 juta orang atau 9,9 persen dari angkatan kerja. Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) juga memperkirakan pada tahun 2004
jumlah angkatan kerja akan mencapai 102,88 juta orang, termasuk angkatan kerja baru
2,10 juta orang (Sukernas-BPS 2002).
Penciptaan lapangan kerja yang tak mampu mengimbangi pertumbuhan angkatan
kerja baru itu menyebabkan angka pengangguran terbuka tahun 2004 meningkat menjadi
10,88 juta orang (10,32 persen dari angkatan kerja), dari tahun sebelumnya 10,13 juta
orang (9,85 persen dari angkatan kerja). Terjadinya over-supply tenaga yang tidak
diimbangi oleh demand yang memenuhi standar. Sementara tuntutan kualitas sumber
daya manusia makin lama makin tinggi dan menuntut kekhususan yang lebih sulit lagi
untuk dipenuhi. Dengan melihat kondisi tersebut maka sektot informal merupakan
alternatif dapat membantu menyerap orang –orang yang menganggur, tetapi kreatif dan
menjadi peredam di tengah pasar global.
Lapangan kerja yang terbatas membuat orang mencari jalan untuk bertahan hidup
agar dapat hidup layak. Oleh karena itu untuk menumbuhkan perilaku wirausaha pada
masyarakat luas khususnya para pencari kerja akan sangat penting dan strategis bagi
pengembangan sumber daya manusia Indonesia yang bermutu, memiliki kejelian dalam