BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Keuangan Pusat dan Daerah, diharapkan agar Pemerintah Daerah dapat mengelola keuangan daerah dengan sebaik-baiknya. Pengelolaan tersebut berkaitan dengan desentralisasi dan otonomi. Dimana setiap Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur pemerintahan dan keuangan di daerah masing-masing.
Propinsi DKI Jakarta sebagai ibukota Negara merupakan tolak ukur bagi kesuksesan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, namun kegiatan pembangunan juga harus didukung oleh anggaran yang besar untuk membiayai kegiatan operasional Pemerintah Daerah propinsi lainnya di Indonesia. Besar-kecilnya suatu anggaran ditentukan oleh penerimaan daerah yang masuk ke Kas Daerah Propinsi DKI Jakarta.
Salah satu sumber penerimaan yang potensial bagi Pemerintah Daerah adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Keberadaan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk menciptakan jenis-jenis Pajak Daerah baru sepanjang Pajak Daerah baru tersebut sesuai dengan berbagai kriteria yang ditetapkan, demikian juga dengan Retribusi Daerah.
Mengingat kondisi masyarakat Propinsi DKI Jakarta yang semakin kritis terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, maka penggalian sumber-sumber penerimaan daerah melalui penciptaan jenis-jenis pajak daerah baru akan sangat sulit untuk diwujudkan. Untuk meningkatkan penerimaan daerah, maka Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta harus melakukan penggalian terhadap sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial.
Alternatif yang dapat dilakukan ialah melalui upaya ekstensifikasi, yaitu dengan menciptakan jenis-jenis pajak daerah baru yang belum tentu dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Propinsi DKI Jakarta atau melalui upaya intensifikasi, yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan dari jenis-jenis pajak daerah yang sudah ada. Dengan kondisi masyarakat Propinsi DKI Jakarta yang sangat kritis terhadap adanya suatu perubahan, maka alternatif terbaik yang dapat dilakukan ialah dengan mengoptimalkan jenis-jenis Pajak Daerah yang sudah ada, dimana masyarakat Propinsi DKI Jakarta telah menerima keberadaan Pajak-pajak Daerah tersebut. Kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan pemungutan Pajak Daerah di Propinsi DKI Jakarta dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA) Propinsi DKI Jakarta.
Pajak kendaraan bermotor merupakan pajak daerah yang sangat potensial terutama pada kota metropolitan seperti kota DKI Jakarta yang padat penduduknya. Penerimaan pajak daerah yang berasal dari pajak kendaraan bermotor sangat besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa upaya optimalisasi pajak kendaraan bermotor berjalan dengan baik. Hal ini dapat terlihat dari Grafik I.1 yang menggambarkan penerimaan pajak daerah, dimana pajak kendaraan bermotor merupakan sumber penerimaan pajak daerah terbesar kedua setelah Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB).
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan berlakunya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Keuangan Pusat dan Daerah, diharapkan agar Pemerintah Daerah dapat mengelola keuangan daerah dengan sebaik-baiknya. Pengelolaan tersebut berkaitan dengan desentralisasi dan otonomi. Dimana setiap Daerah diberikan kewenangan untuk mengatur pemerintahan dan keuangan di daerah masing-masing.
Propinsi DKI Jakarta sebagai ibukota Negara merupakan tolak ukur bagi kesuksesan pembangunan yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, namun kegiatan pembangunan juga harus didukung oleh anggaran yang besar untuk membiayai kegiatan operasional Pemerintah Daerah propinsi lainnya di Indonesia. Besar-kecilnya suatu anggaran ditentukan oleh penerimaan daerah yang masuk ke Kas Daerah Propinsi DKI Jakarta.
Salah satu sumber penerimaan yang potensial bagi Pemerintah Daerah adalah Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Keberadaan Undang-undang Nomor 34 Tahun 2000 sebagai penyempurnaan dari Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk menciptakan jenis-jenis Pajak Daerah baru sepanjang Pajak Daerah baru tersebut sesuai dengan berbagai kriteria yang ditetapkan, demikian juga dengan Retribusi Daerah.
Mengingat kondisi masyarakat Propinsi DKI Jakarta yang semakin kritis terhadap berbagai kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta, maka penggalian sumber-sumber penerimaan daerah melalui penciptaan jenis-jenis pajak daerah baru akan sangat sulit untuk diwujudkan. Untuk meningkatkan penerimaan daerah, maka Pemerintah Daerah Propinsi DKI Jakarta harus melakukan penggalian terhadap sumber-sumber penerimaan daerah yang potensial.
Alternatif yang dapat dilakukan ialah melalui upaya ekstensifikasi, yaitu dengan menciptakan jenis-jenis pajak daerah baru yang belum tentu dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Propinsi DKI Jakarta atau melalui upaya intensifikasi, yaitu dengan mengoptimalkan penerimaan dari jenis-jenis pajak daerah yang sudah ada. Dengan kondisi masyarakat Propinsi DKI Jakarta yang sangat kritis terhadap adanya suatu perubahan, maka alternatif terbaik yang dapat dilakukan ialah dengan mengoptimalkan jenis-jenis Pajak Daerah yang sudah ada, dimana masyarakat Propinsi DKI Jakarta telah menerima keberadaan Pajak-pajak Daerah tersebut. Kewenangan untuk mengatur dan melaksanakan pemungutan Pajak Daerah di Propinsi DKI Jakarta dilakukan oleh Dinas Pendapatan Daerah (DIPENDA) Propinsi DKI Jakarta.
Pajak kendaraan bermotor merupakan pajak daerah yang sangat potensial terutama pada kota metropolitan seperti kota DKI Jakarta yang padat penduduknya. Penerimaan pajak daerah yang berasal dari pajak kendaraan bermotor sangat besar. Sehingga dapat dikatakan bahwa upaya optimalisasi pajak kendaraan bermotor berjalan dengan baik. Hal ini dapat terlihat dari Grafik I.1 yang menggambarkan penerimaan pajak daerah, dimana pajak kendaraan bermotor merupakan sumber penerimaan pajak daerah terbesar kedua setelah Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB).