BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Otonomi Daerah merupakan pemindahan kebutuhan besar kewenangan yang semula berada di pemerintah pusat diserahkan kepada daerah otonom, sehingga pemerintah daerah otonom dapat lebih cepat dalam merespon tuntutan masyarakat daerah sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Misi utama otonomi daerah sendiri adalah meningkatkan kualitas dan kuantitas pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat, menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, dan memberdayakan serta menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam pembangunan (Mardismo, 2002 : 59). Melalui misi otonomi daerah ini pemerintah daerah diberikan kewenangan mengelola keuangan daerahnya semaksimal mugkin yang ditujukkan guna membiayai pembangunan daerahnya melalui kebijakan-kebijakan berupa Peraturan Daerah. Karena kewenangan membuat kebijakan (Peraturan Daerah) sepenuhnya menjadi wewenang daerah otonom, maka dengan otonomi daerah pelaksanaan tugas umum pemerintahan dan pembangunan akan dapat berjalan lebih cepat dan lebih berkualitas. Keberhasilan pelaksanaan otonomi daerah sangat tergantung pada kemampuan keuangan daerah (Pendapatan Asli Daerah), sumber daya manusia yang dimiliki daerah, serta kemampuan daerah untuk mengembangkan segenap potensi yang ada di daerah otonom.
Dipicu dengan adanya krisis moneter dan transisi politik, sejak 1 Januari 2001, Republik Indonesia menerapkan desentralisasi (otonomi daerah) yang didasarkan pada Undang-undang Nomer 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan Undang-undang Nomer 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah, yang kemudian digantikan oleh Undang- Undang Nomer 32 dan Undang-undang Nomer 33 Tahun 2004, yang pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi di mana kota dan kabupaten bertindak sebagai “motor” sedangkan pemerintah propinsi sebagai koodinator.
Guna menunjang pelaksanaan otonomi daerah, maka daerah-daerah yang sudah diberikan hak otonomi diharapkan mampu mengoptimalisasi potensi- potensi yang ada di daerahnya, potensi-potensi ini diharapkan akan menjadi keunggulan masing-masing daerah. Sektor unggulan atau yang lebih dikenal sebagai sektor basis ini diharapkan dapat tumbuh dan bisa dikembangkan sebagai penopang perekonomian daerah, hal ini penting karena sektor basis ini nantinya akan menjadi sumber pemasukan utama bagi daerah, yang nantinya akan digunakan sebagai pembangunan daerah tersebut.
Sektor perekonomian di Kabupaten Bogor terdiri dari tujuh belas sektor yaitu sektor pertanian, kehutanan dan perikanan; pertambangan dan penggalian; industri pengolahan; pengadaan listrik dan gas; pengadaan air, pengelolaan sampah, limbah dan daur ulang; konstruksi; perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor; transportasi dan perdagangan; penyediaan akomodasi dan makan minum; informasi dan komunikasi; jasa keuangan dan asuransi; real estate; jasa perusahaan; administrasi pemerintah, pertahanan dan jaminan sosial wajib; jasa pendidikan; jasa kesehatan dan kegiatan sosial; jasa lainnya. Data mengenai PDRB Kabupaten Bogor menurut lapangan usaha ADHK 2000 dapat dilihat pada tabel di bawah ini:
Berdasarkan Tabel 1.1 di atas terlihat bahwa selama kurun waktu lima tahun terakhir, jumlah PDRB Kabupaten Bogor terus mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sektor industri pengolahan merupakan sektor yang berkontribusi paling besar dalam PDRB Kabupaten Bogor dibandingkan dengan sektor lain yaitu Rp. 110.685.275.800.000 pada tahun 2015. Sektor Perdagangan Besar dan Eceran, Reparasi Mobil dan Sepeda Motor, Konstruksi dan Pertanian, Kehutanan dan Perikanan terbesar beturut-turut selanjutnya. Dari segi total PDRB setiap tahun, Kabupaten Bogor selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya.