BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pengembangan sistem perbankan syariah di Indonesia dilakukan dalam kerangka dual-banking system atau sistem perbankan ganda dalam kerangka Arsitektur Perbankan Indonesia (API), untuk menghadirkan alternatif jasa perbankan yang semakin lengkap kepada masyarakat Indonesia. Secara bersama-sama, sistem perbankan syariah dan perbankan konvensional secara sinergis mendukung mobilisasi dana masyarakat secara lebih luas untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan bagi sektor-sektor perekonomian nasional (OJK, 2017)
Bank kovensional secara garis besar adalah bank yang menggunakan sistem bunga, sedangkan bank syariah menggunakan sistem bagi-hasil. Masyarakat Indonesia sebagian besar adalah muslim, oleh karenanya potensi pasar perbankan syariah di Indonesia sangat besar. Ditandai dengan banyak berdirinya Badan Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS), banyak bank-bank konvensional yang membuka kantor cabang bank syariah, bahkan mengganti jenis usahanya dari bank konvensional menjadi bank syariah (Junaedi A. T.,
2012).
Dengan telah diberlakukannya Undang-Undang No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah yang terbit tanggal 16 Juli 2008, maka pengembangan industri perbankan syariah nasional semakin memiliki landasan hukum yang memadai dan akan mendorong pertumbuhannya secara lebih cepat lagi. Dengan progres perkembangannya yang impresif, yang mencapai rata-rata pertumbuhan aset lebih dari 65% pertahun dalam lima tahun terakhir, maka diharapkan peran industri perbankan syariah dalam mendukung perekonomian nasional akan semakin signifikan (OJK, 2017).
Pertumbuhan ekonomi dan industri di Indonesia telah banyak mengalami kemajuan yang sangat pesat dibandingkan dengan beberapa dekade sebelumnya dengan kemajuan ekonomi dan industri di Indonesia membawa dampak yang baik untuk perbankan syariah. Hal ini dapat dibuktikan bahwa Bank Umum Syariah (BUS) dari tahun ke tahun mengalami perkembangan yang sangat baik, karena bank umum syariah mulai dipercaya oleh masyarakat.
Pada tahun 1992 berdiri bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat. Kemudian menyusul Bank Syariah Mandiri (1999), dan Bank Mega Syariah (2004). Pada tahun 2008, berdiri lagi dua bank syariah yaitu Bank Bukopin Syariah dan Bank BRI Syariah. Setelah dikeluarkannya UU No. 21 Tahun 2008 mengenai perbankan syariah, hal ini berdampak besar bagi industri perbankan syariah karena ada 6 bank umum syariah baru berdiri, yaitu Bank Panin Syariah (2009), Bank BJB Syariah, Bank Victoria Syariah, Bank BCA Syariah, Bank BNI Syariah dan Maybank Syariah yang berdiri pada tahun 2010. Selanjutnya pada tahun 2014 berdiri lagi Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah dan yang terbaru pada tahun 2016 berdiri Bank Aceh Syariah, sampai saat ini sudah ada 13 BUS yang terdaftar di OJK dan BI.
Seiring dengan bertambahnya BUS, otomatis jumlah DPK (Dana Pihak Ketiga) pada bank umum syariah juga meningkat dari tahun ke tahun.
Dari data di atas dapat diketahui bahwa jumlah rekening pada dana pihak ketiga bank umum syariah dan unit usaha syariah dalam 6 tahun terakhir selalu mengalami peningkatan. Yaitu pada tahun 2011 dana pihak ketiga sudah ada 115.515 milyar rupiah, pada tahun 2012 naik menjadi 147.512 milyar rupiah, pada tahun 2013 naik lagi menjadi 183.534 milyar rupiah, pada tahun 2014 dan 2015 naik menjadi 217.858 dan 231.175 milyar rupiah, pada tahun 2016 terus naik menjadi 279.335 milyar rupiah. Hal ini membuktikan masyarakat semakin percaya kepada perbankan syariah dan mau menginvestasikan modalnya atau hanya sekedar menyimpan uangnya di bank syariah dan unit usaha syariah.
Namun, perkembangan BUS di Indonesia selama 6 tahun terakhir masih belum cukup dikarenakan Bank konvensional masih berdiri kokoh dan jauh dipercaya oleh masyarakat, hal itu dapat dibuktikan dari gambar 1.3 yang memperlihatkan perbandingan DPK antara bank konvensional dengan bank umum syariah dan unit usaha syariah, dimana terlihat perbedaan jauh diantara keduanya.