BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Kegiatan muamalah seperti menerima titipan harta, meminjamkan uana untuk keperluan konsumsi dan keperluan bisnis, serta melakukan pengiriman uang yang dilakukan dengan akad-akad yang sesuai dengan Syariah telah lazim dilakukan umat Islam sejak zaman Rasulullah Saw, yang dikenal dengan julukan Al-amin.
Di zaman Rasulullah Saw fungsi-fungsi perbankan biasanya dilakukan oleh satu orang yang hanya melakukan satu fungsi. Baru kemudian di zaman Bani Abbasiyah, ketiga fungsi perbankan dilakukan oleh satu individu. Perbankan mulai berkembang pesat ketika beredar banyak jenis mata uang pada zaman itu sehingga perlu keahlian khusus untuk membedakan satu mata uang dengan mata uang lainnya. Hal ini diperlukan karena setiap mata uang memiliki kandungan logam mulia yang berlainan sehingga memiliki nilai yang berbeda pula. Orang yang mempunyai keahlian khusus itu disebut naqid, sarraf, dan zihbiz.
Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1982. Pada saat itu BI memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pada tahun yang sama juga pemerintah Indonesia berencana menerapkan sistem “bagi hasil” pada perkreditan, yang mana merupakan sistem dari perbankan Syariah.
Pada tahun 1990, Majelis Ulama Indonesia (MUI) membentuk kelompok kerja untuk mendirikan bank Syariah pertama di Indonesia. Hal ini merupakan cikal bakal didirikannya bank Syariah pertama di Indonesia yaitu PT Bank Muamalat Indonesia yang didirikan pada tanggal 1 Novermber 1991, dan mulai resmi beroperasi pada tanggal 1 Mei 1992, dengan modal awal sebesar Rp. 106.126.382.000,-
Pertumbuhan bank syariah dipengaruhi oleh kemampuan bank untuk menghimpun dana masyarakat dan menyalurkannya kepada masyarakat yang
merupakan deficit unit dalam bentuk pembiayaan. Bank syariah sebagai Lembaga intermediasi dituntut mampu untuk mengelola dana dari investor maupun dari masyarakat.
Sumber dana perbankan Syariah sebagian besar dihimpun dari dana masyarakat dan merupak sumber dana yang paling diandalkan oleh bank. Hampir 80% sampai 90% dari seluruh dana yang dikelola oleh bank merupakan dana pihak ketiga baik berasal dari pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat pada umumnya sedangkan sisanya merupakan modal sendiri dan cadangan modal. Dana yang berhasil dihimpum dari masyarakat biasanya dalam bentuk giro, tabungan dan deposito.
Bank konvensional yang melakukan usaha pembiayaanya menggunakan skema pinjaman, sedangkan bank syariah meramaikan industri perbankan di Indonesia menggunakan akad murabahah, musyarakah, mudharabah, salam, istishna, ijarah, qardh, dan akad lainnya yang sesuai dengan syariah. dari sekian banyak akad yang ada, akan murabahah merupakan akad yang paling popular di industri perbankan syariah.
Berdasarkan dari laporan statistik perbankan syariah (SPS) tahun 2017, akad murabahah memegang peran penting dalam penyaluran dana bank untuk kegiatan Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah. Akad murabahah merukan akan yang paling diandalkan oleh bank umum syariah. Hal ini dapat dilihat pada gambar 1.1. Dengan melakukan pembiayaan bank akan memperoleh pendapatan dari bunga, margin, dan bagi hasil. Oleh karenanya bank harus dapat mengatur penyaluran dan untuk memperoleh keuntungan dan sebagai penunjang kelangsungan usaha bank.
Akad murabahah adalah akad transaksi jual-beli dimana bank bertindak sebagai penjual dan nasabah bertindak sebagai pembeli. Bank akan menetapkan harga jual yang dibebankan, harga jual adalah harga beli bank dari pemasok ditambah dengan keuntungan yang diambil bank. Harga jual ini harus disepakati oleh kedua belah pihak, jika sudah disepakati maka tidak
dapat berubah selama akad.
Berdasarkan grafik 1.1 pada tahun 2013 komposisi pembiayaan murabahah bank umum syariah mencapai Rp. 110,565 miliyar. Laju pertumbuhan melambat pada tahun 2014 dimana komposisi pembiayaan murabahah menurun menjadi Rp. 91,867 miliyar. Meski demikian pada tahun
2015 komposisi pembiaya murabahah mengalami peningkatan meskipun tidak signifikan yaitu menjadi Rp. 93,642 miliyar. Laju pertumbuhan terus berlangsung hingga tahun 2017, dimana pada tahun 2016 komposisi pembiayaan murabahah meningkat menjadi Rp.110,063 miliyar dan pada tahun 2017 merupakan peningkatan paling besar dibandingkan empat tahun sebelumnya yaitu menjadi Rp. 114,513 miliyar.
Murabahah adalah akad jual beli dimana penjual (bank syariah) menyatakan harga beli bank dan keuntungan (margin) kepada nasabah. Harga jual bank ini harus disepakati oleh kedua belah pihak yaitu penjual dan pembeli. Pendapatan yang diperoleh dari pembiayaan murabahah diambil bank syariah melalui margin pada setiap pembiayaan murabahah yang dilakukan (Nurhayati dan Wasilah, 2013).
Berdasarkan tabel 1.1 presntase margin murabahahyangbank syariahberikan sangat fluktuatif, pada tahun 2013 margin murabahah sebesar 13.18% atau lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya yaitu sebesar 13.69%. Pertumbahan margin murabahah paling besar terjadi pada tahun 2014 sebesar 15,43%. Peningkatan ini terjadi bisa disebabkan karena adanya peningkatan margin deposito syariah sehingga upaya bank syariah untuk mengimbangi biaya dana yaitu dengan menaikkan margin pembiayaan. Akan tetapi penurunan terus terjadi pada tahun 2015 margin murabahahmenjadi 13.93% , dan kembali menurun pada tahun 2016 menjadi 13,23%. Memasuki tahun 2017 margin murabahah kembali menurun menjadi 13,11%.